Ini
adalah kisahku. Kisah sedih yang aku tulis menjelang kematianku. Mungkin ketika
kalian membaca kisahku ini, aku sudah tidak berada di dunia ini. Hal itu lebih
baik daripada aku harus menanggung sakit yang tak tertahankan ini.
Laki
– laki 25 tahun dengan postur ideal, tinggi 175 cm, berat 64 kg, wajah bersih
dan kulit sawo matang. Wajahku memang
terbilang cukup tampan, itu terbukti dari banyaknya wanita yang tergila – gila
padaku. Aku tidak mengada – ada, mereka memang tergila – gila padaku,
mereka selalu membuntutiku seusai aku
manggung, membawakanku makanan setiap hari, bahkan jika aku menyuruh mereka
membersihkan toiletkupun pasti mereka
akan melakukannya juga. Mereka sudah terbius oleh ketampananku. Menurut mereka, hal yang paling mempesona
adalah bibirku. Aku yang sebagai
penyanyi kafe ini memang tidak seterkenal Ariel Noah, namun fans ku sudah
berjibun di berbagai tempat, tapi itu dulu.
Kini
semua berubah. Kata orang roda kehidupan selalu berputar, adakalanya kita berada
di atas, namun ada suatu masa dimana kita harus berada di bawah. Beberapa tahun
yang lalu aku menjadi pujaan setiap wanita, namun kini tak akan ada yang mau
melirikku. Jangankan melirik, berpapasan dengankupun mereka pasti membuang
muka. Aku bisa mengerti mengapa mereka seperti itu. Memangnya apa yang masih
menarik dari diriku? Tubuhku yang dulu kekar kini hanya tersisa tulang yang
terbungkus kulit, rambut tebalku kini tersisa hanya beberapa helai saja, dan
yang paling mengerikan adalah bibirku. Bibir yang dulu menjadi pesonaku kini
menjadi sesuatu hal yang paling aku benci. Kini bibir itu menjadi suatu katup
yang sama sekali tidak indah. Kanker mulut yang aku derita telah membuat
bibirku membusuk, rona merah bibirku menghilang tertutup oleh abu – abunya daging
busuk. Aku sendiri jijik melihatnya. Aku bahkan tak pernah melihat diriku di
cermin. Aku singkirkan semua cermin dan aku tutup semua kaca dengan
gordyn. Aku pun menyingkir dari orang lain, menarik diriku
dari dunia.
Lalu
bagaimana orang tuaku? Pasti kalian bertanya – tanya mengenai itu. Orang tuaku
baik – baik saja di desa, aku mengkondisikan mereka supaya mereka mengira
hidupku sempurna di sini. Biarlah aku tetap terlihat baik di depan mereka. Aku
tidak ingin membuat mereka syok dan kemudian meninggal karena serangan jantung.
Tidaaaaak.....Biarlah tetap seperti ini.
Satu
pertanyaan lagi pasti muncul di benak kalian, dimana pacar dan sahabat –
sahabatku? Lagi – lagi aku membuat skenario, aku mengkondisikan
supaya mereka perlahan – lahan menjauhiku. Aku bertindak kasar dan tak peduli
pada perhatian mereka, aku ucapkan kata – kata buruk ketika mereka tetap datang
dan merawatku. Kata – kataku membuat mereka jera dan akhirnya membiarkan aku
berbuat semauku, mereka tidak peduli lagi. Aku lebih ingin menjalani sisa
hidupku sendiri.
Yang
aku lakukan kini adalah berkutat dengan pena dan kertas. Aku mulai menulis
semua impian – impianku di lembaran
kertas itu. Aku menikmati setiap goresan tinta yang aku buat. Aku larut
dalam imajinasiku karena hanya dalam khayalan aku bisa bahagia. Puluhan cerita
telah aku buat namun dengan cerita yang selalu sama yaitu akhir yang bahagia.
Satu – satunya tulisanku yang menceritakan kesedihan adalah tulisan ini,
tulisan terakhirku.
Jika
memang ini tulisan terakhirku, maka aku harus mengatakan sesuatu hal pada
kalian. Aku hanyalah salah satu korban,
entah di luar ada ratuasan atau ribuan orang dengan keadaan yang mungkin lebih
mengenaskan daripada aku. Percayakah kalian bahwa semua petaka ini bersumber
dari barang sepele? Barang yang selama bertahun – tahun menemani hariku. Barang
itu aku kira sahabat, tapi ternyata menusukku dari belakang bahkan menghujamkan
racun – racunnya ke dalam tubuhku. Kalian harus percaya itu, dan mengenai
peringatan di bungkus rokok yang sering diabaikan, Itu bukan hanya sebuah
gertakan. “ROKOK MEMBUNUHMU”. Ukirlah
kata – kata itu di hatimu untuk mengenangku.
Surakarta, 13 Mei
2014
01:15